A.
Pengertian Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap suatu
proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian pendekatan
pengembangan kurikulum menunjuk pada titik tolakatau sudut pandang secara umum
tentang proses pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum mempunyai makna
yang cukup luas. Menurut sukmadinata (2000 : 1), pengembangan kurikulum bisa
berarti penyusun kurikulum yang sama sekali baru (curriculum construction),
bisa juga menyempurnakan kurikulum yang telah ada (curuculum improvement).
Selajutnya beliau juga menjelaskan, pada satu sisi pengembangan kurikulum
berarti menyusun seluruh perangkat kurikulum mulai dari dasar-dasar kurikulum,
struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar program pengajaran,
sampai dengan pedoman-pedoman pelaksanaan (macro curriculum). Pada sisi lainnya
berkenaan dengan penjabaran kurikulum yang telah disusun oleh tim pusat menjadi
rencana dan persiapan-persiapan mengajar yang lebih khusus, yang dikerjakan
oleh guru-guru di sekolah, seperti penyusunan rencana tahunan, semester, satuan
pelajaran, dan lain-lain (micro curriculum). Yang dimaksud pengembangan
kurikulum dalam bahasan ini mencakup keduanya, tergantung pada konteks
pendekatan dan model pengembangan kurikulum itu sendiri.
Pendekatan
lebih menekankan pada usaha dan penerapan langkah-langkah atau cara kerja
dengan menerapkan suatu strategi dan beberapa metode yang tepat, yang
dijalankan sesuai dengan langkah-langkah yang sistematik untuk memperoleh hasil
kerja yang lebih baik. Kurikulum merupakan suatu perangkat pernyataan yang
memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena
adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk
perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum. Caswell mengartikan
pengembangan kurikulum sebagai alat untuk membantu guru dalam melakukan tugas
mengerjakan bahan, menarik minat murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pendekatan
pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode
yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis untuk
menghasilkan kurikulum yang lebih baik.
B. Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum sebaiknya dilaksanakan secara
sistemik berdasarkan prinsip terpadu yaitu memberikan petunjuk bahwa
keseluruhan komponen harus harus tepat sekali dan menyambung secara integratif,
tidak terlepas-lepas, tetapi menyeluruh. Penyusunan satu komponen harus dinilai
konsistensinya dan berkaitan dengan komponen-komponen lainnya sehingga
kurikulum benar-benar terpadu secara bulat dan utuh. Ada berbagai macam
pendekatan yang dapat digunakan dalam mengembangkan kurikulum, diantaranya
adalah:
1.
Pendekatan berorientasi pada bahan pelajaran
Pendekatan
ini di Indonesia dalam kurikulum sebelum kurikulum 1975. bagaimana dengan
kelebihan dan kekurangan pendekatan yang berorientasi bahan adalah bahwa bahan
pengajaran lebih flesibel dan bebas dalam menyusunnya, sebab tidak ada
ketentuan yang pasti dalam menentukan bahan pengajaran yang sesuai dengan
tujuan. Kelemahannya adalah karena tujuan pengajaran kurang jelas, maka sukar
ditentukan pedoman dalam menentukan metode yang sesuai untuk pengajaran.
Demikian pula untuk kebutuhan penilaian.
2.
Pendekatan berorientasi pada tujuan
Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini, menempatkan
rumusan atau penetapan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab
tujuan adalah penberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Kelebihan
dari pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah:
- Tujuan yang ingin dicapai jelas
bagi penyusunan kurikulum
- Tujuan yang jelas pula didalam
meneptapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan dan alat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan
- Tujuan-tujuan yang jelas itu
juga akan memberikan arah dalam mengadakan penilaian terhadap hasil yang
di capai.
- Hasil penilaian yang terarah
tersebut akan membantu penyusun kurikulum dalam mengadakan
perbaikan-perbaikan yang di perlukan.
Sedangkan
kelemahan dari pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan
yaitu kesulitan dalam merumuskan tujuan itu sendiri (bagi guru).
3.
Pendekatan dengan Organisasi Bahan
- Pendekatan Pola Subjec Matter
Curriculum
Pendekatan
ini penekanannya pada mata pelajaran-mata pelajaran secara terpisah-pisah,
misalnya: Sejarah, Ilmu Bumi, Biologi, Berhitung. Mata pelajaran ini tidak
berhubungan satu sama lain.
- Pendekatan dengan Pola
Correlated Curriculum
Pendekatan
dengan pola ini adalah pendekatan dengan pola mengelompokkan beberapa mata
pelajaran (bahan) yang seiring, yang bisa secara dekat berhubungan. Pendekatan
ini dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu:
- Pendekatan Struktural
Sebagai
contoh adalah IPS. Bidang ini terdiri atas Ilmu Bumi, Sejarah, dan Ekonomi.
Maka didalam suatu pokok (topik) dari Ilmu Bumi, kemudian dipelajari pula
ilmu-ilmu lain yang masih berada dalam lingkup suatu bidang studi.
- Pendekatan Fungsional
Pendekatan
ini berdasar pada masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini
dikupas melalui berbagai ilmu yang berada dalam lingkup suatu bidang studi yang
dipandang ada hubungannya.
- Pendekatan Tempat / Daerah
Atas
dasar pembicaraan suatu tempat tertentu sebagai pokok pembicaraannya. Misalnya
tentang daerah Yogyakarta, maka dapat dibuat bahan pembicaraan mengenai segi
wisatanya, antropologi, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
- Pendekatan Pola Integrated
Curriculum
Pendekatan
ini didasarkan pada keseluruhan hal yang mempunyai arti tertentu. Keseluruhan
ini tidak sekedar merupakan kumpulan dari bagian-bagiannya, tetapi mempunyai
arti tertentu. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional Negara kita, yang
mengarah pada pembentukan pribadi manusia seutuhnya, maka di dalam pemberian
bahan pendekatan ini menekankan pada keutuhan kebutuhan, yang dalam hal ini
tidak hanya melalui mata pelajaran yang terpisah-pisah, namun harus dijalin
suatu keutuhan yang meniadakan batasan tertentu dari masing-masing bahan
pelajaran.
Menurut
Blaney, pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang sangat kompleks
karena mencakup pembicaraan penyusunan kurikulum yang dilaksanakan di sekolah
disertai dengan penilaian yang intensif, dan penyempurnaan-penyempurnaan
terhadap komponen kurikulum. Usaha melaksanakan tiga hal tersebut berarti harus
melaksanakan keseluruhan proses pengintegrasian komponen kurikulum, diantaranya
adalah komponen tujuan. Dalam kaitannya dengan komponen tujuan ini, perlu di
mengerti pula tentang kedudukan otoritas yang mengambil keputusan kurikulum.
Pengertian
Model Pengembangan kurikulum
Model
adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau
dihasilkan (Departemen P dan K, 1984:75). Definisi lain dari model adalah
abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran
yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase
yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas
dengan
hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya
(Simamarta, 1983: ix – xii). Jadi, Model ialah sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan sebuah kegiatan.
B.
MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam
pengembangan kurikulum ada beberapa model yang dapat digunakan. Tiap model
memiliki kekhasan tertentu baik dilihat dari keluasan pengembangan kurikulumnya
itu sendiri maupun dilihat dari tahapan pendekatannya maupun pengembangannya;
1.
Model Kurikulum Berdasarkan Proses Pengajaran
a.
The Subject Design
Materi
pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran.
Model desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani kemudian Romaawi
mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan
retorika, sedangkan Quadrivium meliputi matematiks, geometri, astonomi, dan
musik.
Lebih
rinci kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum ini adalah :
1)
Kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dari yang
lainnya.
2)
Isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang
hangat, yang sedang berlangsung saat sekarang.
3)
Kurikulum ini kurang memperhatiakan minat, kebuutuhan dan pengalaman peserta
didik
4)
Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan kesukaran
di dalam mempelajari dan menggunakannya
5)
Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang memperhatiakn cara penyampaian.
Cara penyampaian utama adalah ekspositori yang menyebabkan peran siswa pasif.
Meskipun
ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum ini mempunyai beberapa
kelebihan karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum ini lebih
banyak dipakai. Kelebihan kurikulum yaitu :
1)
Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara
sitematis logis, maka penyusunnya cukup mudah.
2)
Bentuk ini sudah di kenal sejak lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua,
sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan.
3)
Bentuk ini memudahkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan di perguruan
tinggi, sebab pada perguruan tinggi umumnya menggunakan bentuk ini
4)
Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah
metode ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi
5)
Bentuk ini sagat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan warisan
budaya masa lalu.
b. The
Disciplines Design
Isi
kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut
pandangan ini sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, satu pertama dari
hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari aliran ini
berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti : fisika,
biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya.
Perbedaan
lain adalah dalam tingkat penguasaan,disciplines design tidak
seperti subject design yang menekankan penguasaab fakta-fakta dan
informasi tetapi pada pemahaman (understing). Para peserta didik didorong untuk
memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami
konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting juga didorong untuk memahami
cara mencari dan menemukannya (modes of inquiry and discovery).
Proses
belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan
peserta didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan inkuiri dan
diskaveri. Disciplines design sudah menintegrasikan unsur-unsur progersifisme
dari Dewey. Bentuk ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan subject
design. Pertama, kurikulum ini bukan hanya memiliki organisasi yang sistematik
dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual pengetahuan
manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsip
hasil hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses intelektual
yang berkembang pada siswa.
Meskipun
telah menunjukan beberapa kelebihan bentuk, desain ini maasih memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan yang berintegrasi.Kedua,
belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat atau kehidupan.Ketiga,
belum bertolak dari minat dan kebutuhan atau pengalaman peserta didik. Keempat,
susunan kurikulum belum efisien baik untuk kegiatan belajar maupun untuk
penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih luas dibandingkan
dengan subject design tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup
sempit.
c.
The Broad Fields Design
Tujuan
pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapakan para siswa yang dewasa
ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialistis, dengan pemahaman
yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah
menengah pertama, di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas apalagi
di perguruan tinggi sedikit sekali.
Ada
dua kelebihan penggunaan kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya bahan yang
terpisah-pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan beberapa mata kuliah masih
memungkinkan penyusunan warisan-warisan budaya secara sistematis dan teratur.
Kedua, karena mengintegrasikan beberapa mata kuliah memungkinkan peserta didik
melihat hubungan antara beberapa hal.
Di
samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum ini.Pertama,
kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar guru mampu menguasai bidang yang
luas, tetapi untuk tingkat yang lebih tinggi, apalagi di perguruan tinggi sukar
sekali.Kedua, karena bidang yang dipelajari itu luas, maka tidak dapat
diberikan secara mendetail, yang diajarkan hanya permukaannya saja. Ketiga,
pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali,tidak menggambarkan kenyataan, tidak
memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan demikian kurang
membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya lebih rendah di
bandingkan dengan subject design, tetapi model ini tetap menekankan
proses pencapaian tujuan yang sifatnya afektif dan kognitif tingkat tinggi.
2.
Model Kurikulum Berdasarkan Pengelolaan Kurikulum
a.
Model administrative ( Administrative )
Model
pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak
dikenal. Diberi nama model administratif atau line staf, karena inisiatif dan
gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan
prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator
pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan
kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum.
Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri atas, pejabat dibawahnya, para ahli
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja
dan perusahaan, tugas tim atau komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep
dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan
kurikulum. Setelah hal-hal mendasar ini terumuskan dan mendapat pengakajian
yang seksama, administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja
pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas para ahli
pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru
bidang studi yang senior.
Karena
sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian disebut
juga model “top down” atau “line staff”. Pengembangan kurikulum dari atas,
tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaanya,
terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunujuk-petunjuk dan penjelasan
atau mungkin juga peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Kebutuhan akan
adanya penataran sering tidak dapat dihindarkan.
Dalam
pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula
adanya kegiatan monitoring pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam
pelaksanaanya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan evaluasi,
untuk menilai baik validitas komponen-komponenya prosedur pelaksanaan maupun
keberhasilanya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari
tingkat pusat atau daerah. Sedang penilaian persekolah dapat dilakukan oleh tim
khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan
balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun sekolah.
b.
Model dari bawah ( Grass-Roots )
Model
pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya
pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi datang dari bawah, yaitu
guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama,digunakan
dalam sistim pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,
sedangkan Grass Roots Model akan berkembang dalam sistem pendidikan yang
bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan Grass Roots seorang guru,
sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan kurikulum.
Pengembangan
atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu
atau beberapa bidang studi atau seluruh bidang studi dan keseluruhan komponen
kurikulum. Apabil kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, vasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kerikulum
Grass Roots Model akan lebih baik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di
kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karna itu dialah
yang paling berkompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal itu sesuai dengan
prinsip-prinsip pengembang kurikulum yang deikemukakan oleh smith, stanley dan
shores (1957:429) dalam pengembangan kurikulum karangan Prof. DR. Nana Syaodih
Sukmadinata.
Pengembangan
kurikulum yg bersifat Grass Roots Model mungkin hanya berlaku untuk bidang
studi tertentu atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk
bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada
sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam
meningkatkan mutu dan sistem pendidikan yang pada giliranya akan melahirkan
manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3.
Model Kurikulum Berdasarkan Implementasi Kurikulum
Terdapat
beberapa model implementasi kurikulum, sebagaimana yang disampaikan oleh Miller
dan Seller (1985: 249-250), yaitu :
1)
The Concerns Based Adaptation Model (CBAM)
Inti
dari model ini adalah menggambarkan, mengidentifikasi beberapa tingkat
perhatian atau kepedulian guru tentang suatu inovasi dan bagaimana guru
menggunakan inovasi di dalam kelas. Model ini merupakan hasil riset
implementasiinovasi di sekolah dan perguruan tinggi, yang diselenggarkan oleh
Universitas Pusat Penelitian dan Pengembangan Texas. CBAM mengemukakan dua
deminsi untuk menguraikan perubahan yaitu :
- Stage of Concern about the
Inovation (SoC), dengan menguraikan perasaan guru dalam proses perubahan,
- Level of Use the Inovation
(LoU) dengan menguraikan performen guru dalam menggunakan sebuah program
baru. Model ini dikembangkan oleh Hall dan Louck (1978).
2)
TORI Model.
Model
ini dikembangkan oleh Gibb (1978) dengan fokus utama pada perubahanpersonal
atau pribadi dan perubahan sosial. Model ini menyediakan suatu skala yang
membantu guru mengidentifikasi bagai mana lingkungan akan menerima ide-ide baru
sebagai harapan untuk mengimplementasikan inovasi dalam praktek dan menyediakan
beberapa petunjuk untuk menyediakan perubahan.
3)
The Profile Inovate Model
Model
ini dikembangkan oleh Leithwood pada tahun 1982, yang juga berfokus pada guru.
Model implementasi kurikulum ini, memungkinkan para guru dan pengembang
kurikulum untuk mengembangkan suatu gambaran (profile), hambatan-hambatan dalam
melakukan perubahan, serta berupaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Model
Leithwood ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga memberikan
strategi-strategi bagi guru untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam
implementasi. Kedua model di atas dapat digunakan dalam implementasi program
yang memiliki orientasi beragam, serta kedua model ini paling sering digunakan
dalam orientasi kurikulum transaksional (transaction curriculum).
selamat pagi, saya mau tanya materi ini didapat dari sumber buku apa ya?
BalasHapus